Tuesday, February 19, 2008

Indikator Kompas: Waspadai Bahan Pengawet dalam Makanan Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi setiap hari. Tak heran, alokasi anggaran untuk keperluan ini cukup besar. Mengacu pada publikasi Badan Pusat Statistik, dari rata-rata pengeluaran per kapita penduduk DI Yogyakarta sebesar Rp 337.717 per bulan (2005), sekitar 43 persen di antaranya dibelanjakan untuk membeli makanan.

Namun, tidak semua makanan yang beredar di pasaran aman untuk dikonsumsi. Sebagian makanan yang mudah dijumpai di pasar tradisional hingga hipermarket di DIY ternyata tidak memenuhi standar mutu Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dari sejumlah sampel makanan yang diuji, ditemukan kandungan bahan tambahan makanan yang berbahaya bagi kesehatan. Berdasarkan hasil uji kimia Balai Besar POM Yogyakarta terhadap 2.105 sampel makanan (2006), lebih dari sembilan persen di antaranya tidak memenuhi standar mutu makanan.

Sekitar 66 persen kandungan bahan tambahan dalam makanan tersebut mengandung bahan pengawet berbahaya, antara lain formalin, boraks, dan pengawet lainnya (lihat Grafis). Jenis pangan yang diuji BB POM Yogyakarta adalah makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat DIY sehari-hari, yaitu makanan produksi dalam negeri (23,42 persen), luar negeri (3,61 persen), industri rumah tangga (22,76 persen), jajanan anak sekolah (7,70 persen), serta makanan yang tidak terdaftar seperti jajanan tradisional di pasar.

Pada tahun 2006 BB POM Yogyakarta telah menyelidiki sekitar 200 kasus tindak pidana di bidang pangan. Selain melakukan pengujian, BB POM juga mengawasi sarana produksi makanan. Saat ini baru sekitar 500 industri pangan di DIY dan sebagian Jawa Tengah yang mampu ditangani. Padahal, jumlah yang ada mencapai 1.300 unit. Keterbatasan jumlah tenaga penguji masih menjadi kendala instansi tersebut dalam menunaikan tugasnya. (SUGITO/LITBANG KOMPAS)

LKJ Temukan Formalin Pada Sejumlah Produk

JAKARTA - Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) menemukan kandungan formalin pada sejumlah produk yang kerap digunakan masyarakat Indonesia. Karenanya, lembaga ini mengimbau masyarakat tidak menggunakan produk-produk itu.Adapun produk yang dimaksud LKJ adalah Pepsodent herbal, whitening dengan perlite, pencegah gigi berlubang; Formula Aksi Putih Sparking Whitening, Limited Idol Edition; sabun cair Lifebuoy (Deep Clean Bodywash Actifresh), sampo Lifebuoy (Anti Dandruff, Daily Care; sampo Clear yang active care anti ketombe, scalp oil control, hair fall defense; serta sampo Sunsilk strong & smooth, silky straight, clean & fresh, lasting black shine.

"Sambil menunggu penjelasan dan tindakan dari Badan POM, LKJ mengimbau konsumen untuk tidak mengkonsumsi produk yang mengandung formalin di atas," ujar Direktur Eksekutif LKJ, Zaim Saidi kepada okezone, Kamis (9/8/2007). Di pasaran, lanjut dia, banyak pilihan produk-produk sejenis yang tidak mengandung formalin. LKJ juga meminta pada pihak BPOM menjelaskan kepada masyarakat tentang izin-izin edar resmi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan, atau produk-produk di atas, yang jelas mengandung formalin."Kita melihat ini pemerintah, dalam hal ini Badan POM, melarang dan menarik peredaran barang china. Kenapa yang domestik boleh beredar. Padahal, mereka terdaftar di Badan POM. Kita mempertanyakan, apakah formalin ini diperbolehkan. Kalau iya, kenapa ada yang ditarik dan ada yang tidak," urai dia.Kemarin, LKJ sudah melaporkan temuan ini kepada Badan POM. Namun belum ada penjelasan dari lembaga itu mengenai temuan ini. "Mungkin masih dibahas di sana," tandas dia. (jri)

Selebaran Daftar 42 Minuman Berbahaya

Selebaran Resahkan WargaSelasa, 14/08/2007
SIDOARJO(SINDO) - Selebaran daftar 42 mamin (makanan dan minuman) berbahayayang beredar meresahkan warga.Selebaran itu menyebutkan nama-nama mamin yangdianggap berbahaya. Selebaran mamin berbahaya itu sebanyak 2 lembar. Lembar pertama berisidaftar 42 mamin yang diduga berbahaya.Adapun lembaran kedua berisi pemahamandan pencegahan tentang penyakit Kanker Leher Rahim (Serviks).Lembar pertama yang berisi daftar 42 produk minuman yang diduga berbahaya, di dalamnyatercatat puluhan produk mamin itu mengandung siklamat (pemanis). Zat inibisa menyebabkan penyakit Lupus yang merusak antibodi.

Padahal, sampai saat ini penyakit itu belum ada obatnya. Bahaya lain yang dicantumkan dalamselebaran, zat itu memiliki efek berupa gangguan otak dan bisa membuat anakberumur 10 tahun memiliki wajah seperti berumur 60 tahun.Untuk menguatkan data jika ke-42 produk minuman itu memiliki kandungan zatberbahaya, selebaran itu juga menyebut Laboratorium Rumah Sakit AngkatanLaut (RSAL) dr. Ramelan Surabaya sebagai sumbernya. Selebaran yang belum diketahui asal-usul dan kebenarannya itu beredar luas di masyarakat. Salahsatunya ditemukan di kawasan Kec Sukodono.

Penyebarannya pun cukup cepat,lantaran selebaran itu dibagikan oleh salah satu pegawai kantor kecamatan kepada kader PKK tingkat desa se-Kec Sukodono. Selanjutnya, kader PKKtersebut memfotokopi dan membagikannya kepada ibu-ibu yang mengikutikegiatan PKK di desa.Selebaran itu juga dibagikan saat arisan rutin ibu-ibu di tingkat RT. "Saya memperoleh selebaran itu dari salah satu staf di Kec Sukodono. Setelahmelihat daftar minuman yang disebut berbahaya, kita jadi khawatir untukmembeli produk itu,"ujar salah satu kader PKK yang minta tidak disebut namanya ini.

Sejauh ini, belum diketahui dari mana selebaran berasal dan apamotivasinya.Namun, akibat selebaran itu, telah timbul keresahan di kalanganmasyarakat. Apalagi sebagian produk mamin yang ada dalam selebaran itu adalah produk yang sudah sangat terkenal dan banyak dikonsumsi olehmasyarakat.Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sidoarjo ternyata belumtahu terkait beredarnya selebaran tersebut. Padahal, semenjak munculnya mamin berformalin dan berbahaya lainnya di media massa, Disperindag aktifmelakukan pengawasan. Kasubdin Perdagangan Disperindag, Sugeng Hariyadi,saat dihubungi SINDO kemarin mengaku, belum tahu atas beredarnya selebaran mamin berbahaya yang meresahkan warga. Namun, pihaknya berjanji, akanmenurunkan tim dan akan mengecek kebenarannya. "Petugas kami akan mengecekke lapangan sebab selama ini Disperindag tidak mengeluarkan selebaran seperti itu,"ujarnya. (abdul rouf)

<http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/selebaran-resahkan-w arga-3.html>http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/selebaran-resahkan-warga-3.html

Mengapa Pengawet dibutuhkan?

oleh Adhi S. Lukman
Akhir-akhir ini, berita tentang keamanan pangan, khususnya penggunaan pengawet Natrium benzoat dan Kalium sorbat, menjadi berita hangat. Ada yang mengaitkan dengan penyebab penyakit seperti lupus, dsb.nya. Apakah gencarnya pemberitaan ini merupakan peningkatan kesadaran masyarakat akan keamanan pangan ?. Ataukah merupakan peningkatan peradaban masyarakat sehingga menuntut yang lebih dari sekedar pangan untuk isi perut saja alias kenyang. Memang trend konsumen dunia , terutama negara maju, menunjukkan gejala ” back to nature ” , artinya kembali ke alam dengan makan makanan yang alami. Atau kata filsuf kuno Hipocrates “Let your food be your medicine and your medicine be your food” , yang mencanangkan sebaiknya makanan sehari-hari anda adalah obat bagi kesehatan anda. Sehingga tidak perlu minum obat-obatan lagi.

Namun apakah benar kesadaran ini sudah menjadi kepedulian konsumen seperti di Indonesia? Ataukah hanya milik konsumen negara maju? Marilah kita tinjau sebentar tingkat peradaban masyarakat berdasarkan pangan.

Dalam tataran publik dan peradaban, pangan bisa dikategorikan dalam beberapa tingkatan mulai dari Food availability (ketersediaan), Food accesibility (keterjangkauan), Food accepability (penerimaan), Food safety (keamanan), sampai tingkat tertinggi People's welfare (kesejahteraan). Dalam setiap tingkatan tentu saja kita harus menyediakan pangan yang aman bagi semua konsumen. Namun demikian, fokus utama dalam setiap tingkat peradaban tergantung dari kemampuan serap konsumennya.

Kalau bicara pada tingkat ketersediaan dan keterjangkauan pangan, maka fokus utama adalah bagaimana negara mampu menyediakan pangan bagi warganya, mudah diperoleh maupun bisa dibeli. Pada tingkat peradaban ini, mungkin masyarakatnya sudah sangat bersyukur apabila bisa dengan mudah memperoleh dan membeli pangan dengan harga terjangkau. Coba kita bayangkan bahwa di negara kita lebih dari 40 juta rakyat masih dibawah garis kemiskinan, serta beberapa daerah tertinggal (seperti Yakuhimo, NTT, dsb) masih terjadi kelaparan. Tentu saja mereka tidak berpikir jauh tentang pengawet atau keamanan pangan, yang penting bisa kenyang agar bisa beraktivitas. Masih bersyukur karena kebanyakan masyarakat pada tingkat demikian diberi kekebalan tubuh yang baik, sehingga kadang makanan dengan tingkat kontaminasi tertentu masih bisa ditoleransi. Inilah kebesaran Tuhan dan keadilan bagi manusia ciptaanNYA.

Pada tingkat yang lebih tinggi, Food safety (keamanan pangan), sudah terfokus untuk menyediakan pangan yang aman dalam segala hal, baik material maupun spiritual, karena tingkat konsumennya menghendaki demikian. Pada kelompok ini, konsumen bisa jadi sudah peduli akan keamanan pangannya. Mereka membeli pangan tidak hanya untuk sekedar kenyang, tetapi juga mulai memilih yang aman bagi kesehatannya. Namun, di Indonesia, sudah berapa banyak konsumen pada tingkatan ini? Meskipun banyak yang mampu dari segi finansial, namun kadang peradaban mereka masih belum seperti ini.

Pada tataran peradaban tertinggi, People's Welfare (Kesejahteraan masyarakat), pangan sudah bukan kebutuhan dasar lagi, tetapi lebih sebagai sarana untuk gaya hidup dan gengsi. Walaupun demikian, kadang pada tingkatan ini masyarakatnya belum tentu peduli akan keamanan pangannya. Di negara maju seperti Jepang, masyarakatnya sangat peduli akan keamanan pangan, sehingga hampir semua masyarakatnya menghendaki makanan tanpa bahan pengawet. Mungkin di Jepang bisa diterapkan karena konsumennya sudah maju & peduli, serta variasi tingkat peradabannya tidak terlalu lebar. Sebaliknya, di USA, meskipun negara maju, penggunaan bahan pengawet masih umum dilakukan. Mungkinkah karena variasi peradabannya masih lebar? Atau karena masalah persepsi, distribusi, dan sebagainya?

Di Indonesia, bisa kita rasakan bersama bahwa tingkatan peradaban masih sangat bervariasi dan bentangannya sangat lebar. Sehingga kita sulit menerapkan perubahan kebiasaan ataupun peraturan tentang penggunaan pengawet makanan. Kalau dilakukan gerakan ” back to nature ”, mungkin yang bisa mengikuti hanya produsen besar saja dengan kelompok masyarakat yang sudah peduli keamanan pangan. Bagaimana halnya dengan produsen rumah tangga, kecil dan menengah? Bagaimana dengan masyarakat yang masih berkutat dengan makan untuk kenyang ?

Mari sejenak kita tengok , mengapa pengawet makanan digunakan.
Pengawet Makanan merupakan salah satu Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diijinkan dan diatur penggunaannya sesuai dengan risk assesment (Penilaian Resiko), baik oleh badan dunia yang berwenang seperti WHO/FAO, Codex Alimentarius, atau di masing-masing negara dilakukan oleh badan yang berwenang. Di Indonesia, penilaian resiko BTP dilakukan oleh BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan).

Penggunaan BTP di Indonesia masih diatur oleh Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88. Termasuk penggunaan Natrium Benzoat dan Kalium Sorbat, diatur tentang penggunaan maksimumnya sesuai dengan jenis produknya. Produsen bisa menggunakan pengawet tersebut untuk tujuan tertentu sesuai dengan aturan yang ada.

Secara umum bahan pengawet diperlukan untuk memperpanjang masa simpan produk olahan pangan, terutama untuk menghindari kerusakan pangan akibat faktor mikrobiologis, enzym, perubahan kimia, dan sebagainya. Maka pengawet makanan ini diperlukan antara lain karena:

1. Distribusi dan Pola kebiasaan Konsumen
Pola distribusi menjadi penting dalam distribusi produk pangan. Masih belum rapinya sistem distribusi di Indonesia dan pengaturan distribusi yang masih tradisional tentu saja membutuhkan waktu lama agar produk pangan sampai ke tangan konsumen. Dan semakin lama produk itu sampai ke konsumen, maka semakin pengawet dibutuhkan. Bisa kita bayangkan satu produk biskuit dikirim berhari-hari bahkan berbulan-bulan dan harus berpindah tangan berkali-kali baru sampai ke tangan konsumen. Apabila tanpa pengawet , mungkin produk sudah terkontaminasi oleh cemaran mikroba patogen yang malah lebih berbahaya bagi tubuh kita.
Kalau kita bandingkan dengan negara Jepang, yang pola distribusinya sudah tertata rapi, maka sangat mudah untuk mengatur produk sampai ke tangan konsumen. Biasanya disana produsen membuat kontrak tahunan dengan supermarket atau mini market ( convenience store ) , kemudian diterjemahkan menjadi order bulanan dan pengiriman harian. Dengan demikian produsen dapat dengan mudah mengatur kapan produksi dan kapan kirimnya. Ditunjang dengan lengkapnya sarana distribusi serta banyaknya convenience store , maka dengan cepat produk bisa sampai di tangan konsumen. Dengan demikian konsumen dapat selalu memperoleh produk segar tanpa pengawet. Biasanya produk makanan disana mempunyai masa kadaluarsa antara 1 minggu hingga 3 bulan.
Ditunjang pola kebiasaan masyarakat Jepang yang tidak pernah mau stok produk pangan (kecuali minuman beralkohol), maka konsumen selalu ingin membeli produk yang ingin dipakai saat itu juga. Hal ini menunjang keberadaan convenience store yang mudah ditemui, misalnya di Tokyo, setiap melangkah 200m akan kita temui adanya convenience store , demikian juga di pusat keramaian seperti stasiun, dsb.nya. Dengan pola kebiasaan seperti ini, dan adanya rencana produksi dan distribusi yang baik, maka produk makanan tanpa pengawet dan masa kadaluarsa pendek bukan menjadi kendala.
Bandingkan dengan di Indonesia, dimana pola distribusi dan produksi masih tradisional. Tidak adanya sinergi antara produsen dengan pengecer, menjadikan tidak adanya kepastian , baik dari sisi produsen maupun pengecer. Belum lagi sarana distribusi (infrastruktur) yang belum memadai di beberapa daerah, kondisi lapangan dan geografis yang rumit di Indonesia, serta pola kebiasaan konsumen untuk stok produk pangan di rumah. Semua faktor tersebut menghendaki produsen membuat produk dengan masa kadaluarsa yang cukup lama. Apalagi kebiasaan pengecer dan supermarket menolak produk dengan masa kadaluarsa pendek. Tiada pilihan lain bagi produsen untuk memakai bahan pengawet agar produknya aman sampai konsumen

2. Teknologi Proses dan Kemasan
Teknologi proses yang baik serta penggunaan bahan kemasan yang aseptik (kedap cemaran dari luar) memang menjadi andalan produk pangan menjadi awet tanpa bahan pengawet. Namun demikian, tidak semua produsen mampu menerapkan teknologi ini karena berbagai keterbatasan , antara lain keterbatasan pengetahuan, modal, kemampuan, dan sebagainya. Penerapan teknologi ini membutuhkan pula daya beli konsumen yang memadai. Ditengah keterpurukan daya beli konsumen, tentu saja menjadi kendala bagi produsen untuk mengaplikasikan teknologi ini. Apalagi bagi produsen UKM, mungkin ini hanya berupa ”mimpi merindukan bulan”. Bisa jadi, kasus penggunaan formalin menjadi contoh kasus keterbatasan pengetahuan sektor UKM, disamping karena faktor biaya dan tidak adanya alternatif lain.
Sekali lagi kita bandingkan dengan Jepang, mereka bisa memakai bahan kemasan yang baik untuk menjamin agar produk menjadi awet. Ditunjang teknologi proses yang mutakhir, mereka mampu memproduksi pangan tanpa bahan pengawet.

3. Faktor cuaca
Untuk produk pangan, faktor cuaca menjadi penting karena sangat berpengaruh terhadap produk itu sendiri. Di Indonesia, dengan suhu udara dan kelembaban yang relatif tinggi menjadi faktor penunjang untuk penurunan mutu produk pangan. Dengan kondisi ini memang sangat disukai oleh mikroba untuk tumbuh dengan baik, demikian juga dengan proses lainnya seperti perubahan enzimatis, kimia, dsb.nya. Dengan kondisi demikian, maka produk pangan menjadi lebih mudah rusak.

Mungkin beruntung negara seperti Jepang dengan kondisi cuaca kelembaban rendah serta selama 2 musim dengan suhu rendah, maka produk makanan menjadi lebih awet.
Dari beberapa faktor diatas, kita bisa menarik pelajaran bahwa tidak mudah untuk mengganti pola kebiasaan. Berbagai pihak dan faktor saling terkait, dan merubah satu faktor akan berpengaruh terhadap banyak pihak. Yang siap akan menang dan yang tidak siap akan tersingkir secara alami. Tentu saja biasanya yang kecil akan lebih lambat untuk mengadaptasi perubahan.

Dalam menyikapi penggunaan pengawet, kita semua harus arif bahwa semua konsumsi ada batasannya, meskipun sudah diatur oleh regulasi. Kita masing-masing harus membatasi diri dan arif dalam memilih yang terbaik untuk diri sendiri. Jangankan bahan pengawet, kita makan apapun, apabila makan berlebih akan menjadi penyakit juga. Kalau kita makan garam sedikit sebagai bumbu, tentu makanan akan sedap. Tetapi kalau makan garam banyak, tentunya darah tinggi akan menyerang anda.

Akhirnya, kalau mau berubah, maka semua pihak harus proaktif untuk berubah. Produsen, konsumen , peritel, pemerintah , dan semua yang terlibat tidak bisa berdiri sendiri untuk berubah. Mampukah kita bersama merubah pola yang sudah terbentuk lama? Kalau tidak mampu, bersama kita harus berpikir positif , bahwa pengawet masih dibutuhkan, sepanjang sudah dilakukan penilaian resiko oleh pihak yang berwenang serta sudah diatur jelas dengan regulasi. Dan selanjutnya secara perlahan tapi terarah kita rencanakan untuk berubah menuju produk pangan tanpa pengawet dan ” back to nature ”. Tantangan sekaligus peluang menuju People's welfare . Semoga.

Profil penulis: Adhi S Lukman - Ketua GAPMMI, membawahi bidang kerjasama dan advokasi, dan menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan dan Industri Primer Pertanian di KADIN Indonesia.

Badai Bahan Pengawet

(08/01/2007) - Beberapa kali pasar industri makanan dan minuman dihebohkan oleh isu bahan pengawet. Berkali pula pasar industri di kategori ini turut terseok bagai diterpa badai. Kondisi cuaca di Indonesia menjadikan produk makanan dan minuman membutuhkan bahan pengawet agar tidak membusuk, basi atau rusak ketika sampai di konsumen. Namun sudah semestinya masyarakat atau konsumen mendapatkan hak perlindungan dari produk-produk yang mereka konsumsi. Kasus penggunaan formalin atau boraks yang memang berbahaya bagi kesehatan sempat melumpuhkan industri tahu, bakso, mie basah hingga nelayan di Jakarta. Kasus ini telah mendorong lembaga dan departemen terkait untuk menemukan bahan pengawet makanan yang aman bagi kesehatan. Belum lama ini muncul kembali kasus serupa setelah Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (Kombet) yang disupervisi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan (LP3ES) Jakarta setelah mempublikasikan hasil penelitiannya bekerja sama dengan Sucofindo Jakarta, M-Brio Bogor dan Bio-Formaka Bogor. Badai Bahan Pengawet selengkapnya dapat Anda baca di majalah cakram edisi Januari 2007. (ANS/MSA)

KOMBET

Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET) didirikan awal 2006 oleh sekelompok masyarakat yang peduli terhadap produk-produk makanan dan minuman yang sehat tanpa bahan pengawet. Tujuan KOMBET memberi bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen menuju kesejahteraan keluarga, hidup awet tanpa pengawet. Banyak kegiatan yang telah dilakukan KOMBET, antara lain melakukan riset produk makanan dan minuman, kampanye publik tentang bahaya pengawet, baik melalui media massa maupun langsung ke sekolah-sekolah.

Pengurus Kombet:
Nova Kurniawan (Ketua)
Andy Yoes Nugroho (Sekretaris)
Tri Agus Susanto (Koordinator Program)
Endi Martono, SH (Penasehat Hukum)
Ina Sukaesih, Eko Supriyanto (Staff)