Tuesday, February 19, 2008

Mengapa Pengawet dibutuhkan?

oleh Adhi S. Lukman
Akhir-akhir ini, berita tentang keamanan pangan, khususnya penggunaan pengawet Natrium benzoat dan Kalium sorbat, menjadi berita hangat. Ada yang mengaitkan dengan penyebab penyakit seperti lupus, dsb.nya. Apakah gencarnya pemberitaan ini merupakan peningkatan kesadaran masyarakat akan keamanan pangan ?. Ataukah merupakan peningkatan peradaban masyarakat sehingga menuntut yang lebih dari sekedar pangan untuk isi perut saja alias kenyang. Memang trend konsumen dunia , terutama negara maju, menunjukkan gejala ” back to nature ” , artinya kembali ke alam dengan makan makanan yang alami. Atau kata filsuf kuno Hipocrates “Let your food be your medicine and your medicine be your food” , yang mencanangkan sebaiknya makanan sehari-hari anda adalah obat bagi kesehatan anda. Sehingga tidak perlu minum obat-obatan lagi.

Namun apakah benar kesadaran ini sudah menjadi kepedulian konsumen seperti di Indonesia? Ataukah hanya milik konsumen negara maju? Marilah kita tinjau sebentar tingkat peradaban masyarakat berdasarkan pangan.

Dalam tataran publik dan peradaban, pangan bisa dikategorikan dalam beberapa tingkatan mulai dari Food availability (ketersediaan), Food accesibility (keterjangkauan), Food accepability (penerimaan), Food safety (keamanan), sampai tingkat tertinggi People's welfare (kesejahteraan). Dalam setiap tingkatan tentu saja kita harus menyediakan pangan yang aman bagi semua konsumen. Namun demikian, fokus utama dalam setiap tingkat peradaban tergantung dari kemampuan serap konsumennya.

Kalau bicara pada tingkat ketersediaan dan keterjangkauan pangan, maka fokus utama adalah bagaimana negara mampu menyediakan pangan bagi warganya, mudah diperoleh maupun bisa dibeli. Pada tingkat peradaban ini, mungkin masyarakatnya sudah sangat bersyukur apabila bisa dengan mudah memperoleh dan membeli pangan dengan harga terjangkau. Coba kita bayangkan bahwa di negara kita lebih dari 40 juta rakyat masih dibawah garis kemiskinan, serta beberapa daerah tertinggal (seperti Yakuhimo, NTT, dsb) masih terjadi kelaparan. Tentu saja mereka tidak berpikir jauh tentang pengawet atau keamanan pangan, yang penting bisa kenyang agar bisa beraktivitas. Masih bersyukur karena kebanyakan masyarakat pada tingkat demikian diberi kekebalan tubuh yang baik, sehingga kadang makanan dengan tingkat kontaminasi tertentu masih bisa ditoleransi. Inilah kebesaran Tuhan dan keadilan bagi manusia ciptaanNYA.

Pada tingkat yang lebih tinggi, Food safety (keamanan pangan), sudah terfokus untuk menyediakan pangan yang aman dalam segala hal, baik material maupun spiritual, karena tingkat konsumennya menghendaki demikian. Pada kelompok ini, konsumen bisa jadi sudah peduli akan keamanan pangannya. Mereka membeli pangan tidak hanya untuk sekedar kenyang, tetapi juga mulai memilih yang aman bagi kesehatannya. Namun, di Indonesia, sudah berapa banyak konsumen pada tingkatan ini? Meskipun banyak yang mampu dari segi finansial, namun kadang peradaban mereka masih belum seperti ini.

Pada tataran peradaban tertinggi, People's Welfare (Kesejahteraan masyarakat), pangan sudah bukan kebutuhan dasar lagi, tetapi lebih sebagai sarana untuk gaya hidup dan gengsi. Walaupun demikian, kadang pada tingkatan ini masyarakatnya belum tentu peduli akan keamanan pangannya. Di negara maju seperti Jepang, masyarakatnya sangat peduli akan keamanan pangan, sehingga hampir semua masyarakatnya menghendaki makanan tanpa bahan pengawet. Mungkin di Jepang bisa diterapkan karena konsumennya sudah maju & peduli, serta variasi tingkat peradabannya tidak terlalu lebar. Sebaliknya, di USA, meskipun negara maju, penggunaan bahan pengawet masih umum dilakukan. Mungkinkah karena variasi peradabannya masih lebar? Atau karena masalah persepsi, distribusi, dan sebagainya?

Di Indonesia, bisa kita rasakan bersama bahwa tingkatan peradaban masih sangat bervariasi dan bentangannya sangat lebar. Sehingga kita sulit menerapkan perubahan kebiasaan ataupun peraturan tentang penggunaan pengawet makanan. Kalau dilakukan gerakan ” back to nature ”, mungkin yang bisa mengikuti hanya produsen besar saja dengan kelompok masyarakat yang sudah peduli keamanan pangan. Bagaimana halnya dengan produsen rumah tangga, kecil dan menengah? Bagaimana dengan masyarakat yang masih berkutat dengan makan untuk kenyang ?

Mari sejenak kita tengok , mengapa pengawet makanan digunakan.
Pengawet Makanan merupakan salah satu Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diijinkan dan diatur penggunaannya sesuai dengan risk assesment (Penilaian Resiko), baik oleh badan dunia yang berwenang seperti WHO/FAO, Codex Alimentarius, atau di masing-masing negara dilakukan oleh badan yang berwenang. Di Indonesia, penilaian resiko BTP dilakukan oleh BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan).

Penggunaan BTP di Indonesia masih diatur oleh Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88. Termasuk penggunaan Natrium Benzoat dan Kalium Sorbat, diatur tentang penggunaan maksimumnya sesuai dengan jenis produknya. Produsen bisa menggunakan pengawet tersebut untuk tujuan tertentu sesuai dengan aturan yang ada.

Secara umum bahan pengawet diperlukan untuk memperpanjang masa simpan produk olahan pangan, terutama untuk menghindari kerusakan pangan akibat faktor mikrobiologis, enzym, perubahan kimia, dan sebagainya. Maka pengawet makanan ini diperlukan antara lain karena:

1. Distribusi dan Pola kebiasaan Konsumen
Pola distribusi menjadi penting dalam distribusi produk pangan. Masih belum rapinya sistem distribusi di Indonesia dan pengaturan distribusi yang masih tradisional tentu saja membutuhkan waktu lama agar produk pangan sampai ke tangan konsumen. Dan semakin lama produk itu sampai ke konsumen, maka semakin pengawet dibutuhkan. Bisa kita bayangkan satu produk biskuit dikirim berhari-hari bahkan berbulan-bulan dan harus berpindah tangan berkali-kali baru sampai ke tangan konsumen. Apabila tanpa pengawet , mungkin produk sudah terkontaminasi oleh cemaran mikroba patogen yang malah lebih berbahaya bagi tubuh kita.
Kalau kita bandingkan dengan negara Jepang, yang pola distribusinya sudah tertata rapi, maka sangat mudah untuk mengatur produk sampai ke tangan konsumen. Biasanya disana produsen membuat kontrak tahunan dengan supermarket atau mini market ( convenience store ) , kemudian diterjemahkan menjadi order bulanan dan pengiriman harian. Dengan demikian produsen dapat dengan mudah mengatur kapan produksi dan kapan kirimnya. Ditunjang dengan lengkapnya sarana distribusi serta banyaknya convenience store , maka dengan cepat produk bisa sampai di tangan konsumen. Dengan demikian konsumen dapat selalu memperoleh produk segar tanpa pengawet. Biasanya produk makanan disana mempunyai masa kadaluarsa antara 1 minggu hingga 3 bulan.
Ditunjang pola kebiasaan masyarakat Jepang yang tidak pernah mau stok produk pangan (kecuali minuman beralkohol), maka konsumen selalu ingin membeli produk yang ingin dipakai saat itu juga. Hal ini menunjang keberadaan convenience store yang mudah ditemui, misalnya di Tokyo, setiap melangkah 200m akan kita temui adanya convenience store , demikian juga di pusat keramaian seperti stasiun, dsb.nya. Dengan pola kebiasaan seperti ini, dan adanya rencana produksi dan distribusi yang baik, maka produk makanan tanpa pengawet dan masa kadaluarsa pendek bukan menjadi kendala.
Bandingkan dengan di Indonesia, dimana pola distribusi dan produksi masih tradisional. Tidak adanya sinergi antara produsen dengan pengecer, menjadikan tidak adanya kepastian , baik dari sisi produsen maupun pengecer. Belum lagi sarana distribusi (infrastruktur) yang belum memadai di beberapa daerah, kondisi lapangan dan geografis yang rumit di Indonesia, serta pola kebiasaan konsumen untuk stok produk pangan di rumah. Semua faktor tersebut menghendaki produsen membuat produk dengan masa kadaluarsa yang cukup lama. Apalagi kebiasaan pengecer dan supermarket menolak produk dengan masa kadaluarsa pendek. Tiada pilihan lain bagi produsen untuk memakai bahan pengawet agar produknya aman sampai konsumen

2. Teknologi Proses dan Kemasan
Teknologi proses yang baik serta penggunaan bahan kemasan yang aseptik (kedap cemaran dari luar) memang menjadi andalan produk pangan menjadi awet tanpa bahan pengawet. Namun demikian, tidak semua produsen mampu menerapkan teknologi ini karena berbagai keterbatasan , antara lain keterbatasan pengetahuan, modal, kemampuan, dan sebagainya. Penerapan teknologi ini membutuhkan pula daya beli konsumen yang memadai. Ditengah keterpurukan daya beli konsumen, tentu saja menjadi kendala bagi produsen untuk mengaplikasikan teknologi ini. Apalagi bagi produsen UKM, mungkin ini hanya berupa ”mimpi merindukan bulan”. Bisa jadi, kasus penggunaan formalin menjadi contoh kasus keterbatasan pengetahuan sektor UKM, disamping karena faktor biaya dan tidak adanya alternatif lain.
Sekali lagi kita bandingkan dengan Jepang, mereka bisa memakai bahan kemasan yang baik untuk menjamin agar produk menjadi awet. Ditunjang teknologi proses yang mutakhir, mereka mampu memproduksi pangan tanpa bahan pengawet.

3. Faktor cuaca
Untuk produk pangan, faktor cuaca menjadi penting karena sangat berpengaruh terhadap produk itu sendiri. Di Indonesia, dengan suhu udara dan kelembaban yang relatif tinggi menjadi faktor penunjang untuk penurunan mutu produk pangan. Dengan kondisi ini memang sangat disukai oleh mikroba untuk tumbuh dengan baik, demikian juga dengan proses lainnya seperti perubahan enzimatis, kimia, dsb.nya. Dengan kondisi demikian, maka produk pangan menjadi lebih mudah rusak.

Mungkin beruntung negara seperti Jepang dengan kondisi cuaca kelembaban rendah serta selama 2 musim dengan suhu rendah, maka produk makanan menjadi lebih awet.
Dari beberapa faktor diatas, kita bisa menarik pelajaran bahwa tidak mudah untuk mengganti pola kebiasaan. Berbagai pihak dan faktor saling terkait, dan merubah satu faktor akan berpengaruh terhadap banyak pihak. Yang siap akan menang dan yang tidak siap akan tersingkir secara alami. Tentu saja biasanya yang kecil akan lebih lambat untuk mengadaptasi perubahan.

Dalam menyikapi penggunaan pengawet, kita semua harus arif bahwa semua konsumsi ada batasannya, meskipun sudah diatur oleh regulasi. Kita masing-masing harus membatasi diri dan arif dalam memilih yang terbaik untuk diri sendiri. Jangankan bahan pengawet, kita makan apapun, apabila makan berlebih akan menjadi penyakit juga. Kalau kita makan garam sedikit sebagai bumbu, tentu makanan akan sedap. Tetapi kalau makan garam banyak, tentunya darah tinggi akan menyerang anda.

Akhirnya, kalau mau berubah, maka semua pihak harus proaktif untuk berubah. Produsen, konsumen , peritel, pemerintah , dan semua yang terlibat tidak bisa berdiri sendiri untuk berubah. Mampukah kita bersama merubah pola yang sudah terbentuk lama? Kalau tidak mampu, bersama kita harus berpikir positif , bahwa pengawet masih dibutuhkan, sepanjang sudah dilakukan penilaian resiko oleh pihak yang berwenang serta sudah diatur jelas dengan regulasi. Dan selanjutnya secara perlahan tapi terarah kita rencanakan untuk berubah menuju produk pangan tanpa pengawet dan ” back to nature ”. Tantangan sekaligus peluang menuju People's welfare . Semoga.

Profil penulis: Adhi S Lukman - Ketua GAPMMI, membawahi bidang kerjasama dan advokasi, dan menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan dan Industri Primer Pertanian di KADIN Indonesia.

No comments: